Info Harga HP terbaru, Kumpulan Kata-kata mutiara dan kumpulan artikel menarik terupdate

Selasa, 01 April 2014

Cerpen Romantis - Benang Kusut di Atas Sajadah

BENANG KUSUT DI ATAS SAJADAH

Cerpen Karya Marayas Sastra

Cerpen Romantis - Benang Kusut di Atas Sajadah | Segumpal awan tampak membumbung diatas danau. Mendung, pertanda air akan menari dengan irama rintikan hujan. Jika menoleh kearah timur maka akan terlihat sebuah rel kereta api membentang jauh mengawal danau dengan setia. Didampingi oleh kasih sayang sebuah jalan berdebu.
Cerpen Romantis - Benang Kusut di Atas Sajadah
Diatas rel itu terbujur seorang insan dengan pakaian yang lusuh dan kumal, duduk dengan kaki direbahkan menghadap danau. Tangan sebelah kirinya terus menggenggam sebuah benda, sedangkan tangan kanannya terus melempari danau dengan kerikil-kerikil kecil.
Sudah beberapa hari ini aku melihatnya direl itu. Semua orang yang lewat berpikiran yang sama dengan yang lain “dia gila,” itulah yang terbesit di pikiran mereka.
Aku terus memperhatikan gadis itu dari tempat dudukku. Ditemani sebuah radio kecil, aku merapikan jaring-jaring yang kusut.

Jarum jam menunjukkan waktu 12:45. Ku angkat badan yang sudah mulai penat ini menuju sebuah Mushola kecil tak jauh dari tempatku berada. Ketika ku berdiri, kembali kepalaku tergerak sendiri kearah gadis di rel kereta itu, entah siapa yang menggerakkannya aku tak tahu. Ku lihat gadis itu masih asik melempari danau dengan kerikil-kerikil kecil.


Benang Kusut di Atas Sajadah - Cerpen Romantis
Jauh di belakang gadis kecil itu, tampak oleh ku sebongkah baja berjalan dengan angkuhnya. “Kereta api” darahku berdesir, peluh dingin mulai bercucuran.
“Awas, kereta apiii!!!.” Teriakku dengan sangat keras sambil menunjuk kebelakangnya.
Tetapi dia hanya terdiam, ia tolehkan sebentar wajahnya kearah kereta api meluncur, kemudian kembali ia lempari danau dengan kerikil-kerikil kecil. Seolah-olah kereta api akan takut kepadanya dan menghindar dengan sendiri.

Detak jantungku semakin kencang, badanku mulai basah akan keringat dingin yang terus mengucur di tubuh. “Tuuuttttthhhh” tak henti-hentinya pluit itu berbunyi, namun gadis itu seakan tak mengundang cemas dalam hatinya. Atau dia sengaja akan mengakhiri hidupnya? tanyaku dalam hati. Aku tak punya pilihan lain, aku harus menyelamatkanya, entah wahyu apa yang diturunkan oleh Tuhan, aku tak tahu dan tak ingin tahu. Yang penting tak ikhlas mata ini melihat seorang gadis diterjang oleh kereta api yang angkuh itu.
Ku berlari sekencang mungkin, sekencang yang aku bisa. Kalaupun bisa, aku ingin terbang secepat kilat, menyambarnya bagaikan elang memangsa seekor ayam.

Jarakku dengan gadis itu sabaleh duo baleh dengan kereta api yang terus meluncur. Batu-batu kecil beterbangan oleh kakiku yang terus berputar seirama. Pluit kereta terus memberikan isarat, seolah tak ingin mengalah denganku untuk merebut gadis itu. Jarakku dengannya semakin dekat, beruntung aku lebih dekat dibandingkan kereta yang berada berlawanan denganku.
Dengan cepat kuraih tangan gadis itu, dan kutarik ia keluar dari rel kereta. “Selamat” ujarku dengan nafas terengah-engah. Sialnya kakiku malah terpleset dari tepi rel, tanpa sengaja kami terjatuh kedalam suatu sawah yang masih berlumpur dengan posisi yang tidak mengenakkan “berpelukan”.
Dia lepaskan badannya dari tubuhku, kemudian ia berdiri meninggalkanku yang masih terbujur kaku dengan penuh lumpur. Tak ada sepatah katapun yang terucap dari gadis itu, hanya raut wajah yang tak bersahabat dia tinggalkan kepadaku sebagai bingkisan terima kasih telah meyelamatkannya.

Aku hanya bisa tersenyum sebelah bibir melihat kelakuannya, dengan tenaga yang masih tersisa ku angkat badan ini yang penuh dengan lumpur.
“Hujan!” ya, hanya hujanlah yang turut menemaniku disini, sedangkan gadis itu kulihat berjalan menyusuri panjangnya rel kereta sambil diterpa oleh rintikan hujan. Kubiarkan lumpur ini meleleh dikalahkan oleh sapuan hujan, sambil terus kulihat gadis itu yang semakin lama semakin kecil, jauh dan akhirnya lenyap ditelan gelapnya hujan.
***

Oh ya, namaku Ikfar, anak kedua dari tiga bersaudara. Abangku adalah sosok yang sangat kuat dan selalu melindungiku, tanpa dia aku tak akan mampu bertahan oleh kejamnya dunia. Namanya Matahari, benda bulat raksasa yang selalu bersinar di angkasa dengan gagah berani.
Kemudian adikku adalah benda indah yang selalu memikat hati ini, tanpa dia dunia ini terasa hampa bagiku, tapi belum tentu bagimu! dialah Bulan.
Kemudian kalian akan bertanya siapakah ayah dan ibuku? Ayahku adalah sosok yang selalu menjagaku dengan cinta dan kasih sayang, dia perisai kehidupanku selamanya, dialah Langit, atap bagiku dan bagi dunia ini.
Lalu ibuku adalah tempat dimana aku selalu dalam pelukan dan kasih sayang, tempat dimana aku menumpahkan segala cinta dan duka. Tempat dimana aku akan tertidur untuk selamanya. Dialah Bumi, tempat aku hidup dan mati kelak.

Mungkin terdengar sangat aneh keluargaku itu, tapi itulah keluargaku, keluarga yang selalu harmonis dalam setiap detik waktu ini. Tanpa ada pertengkaran, dan carut marut kehidupan. Dan mungkin, anda juga berfikir bahwa aku adalah penulis yang telalu berlebihan, tidak!!! Aku menceritakan apa adanya, karena aku bukanlah pengecut yang selalu berlindung dibawah ketiak kekuasaan nepotisme.
Dan jika anda terus bertanya dengan ngotot dan menyudutkan ku, seperti seorang jaksa penuntut umum. Aku akan angkat tangan, semuanya karena aku adalah pemimpi tanpa tujuan, pengembara tanpa arah, dan penyanyi tanpa lagu, bukan begitu!!! Tapi karena aku adalah pecundang teman, atau lebih sopan anda sebut pengalah.
Aku lari dari rumah, karena aku tak sanggup untuk bertahan dalam kecamuk keluarga yang selalu mementingkan egonya masing-masing. Tanpa ada didalamnya kasih sayang dan cinta.
Hingga aku lari ke danau ini, untuk mencari sebuah mimpi, sebuah keluarga, bukan sebuah, tapi semua, semua yang aku anggap bahagia dan hidup.
***

Daun kamboja yang kering jatuh dari dahannya. Daun kering itu menimpa pundakku yang sedang bersimpuh di tepi danau. Senja sudah berlalu. Bola raksasa berwarna jingga itu menggelincir masuk ke batas cakrawala. Beberapa turis yang beruntung menyaksikan peristiwa ajaib itu berdecak kagum.

Sebuah mobil sedan hitam berhenti tepat di depanku, kulihat seorang pemuda bertubuh kekar keluar dari dalamnya.
“ Mau apa lagi” ujarku tanpa berdiri untuk menghormati kedatangannya.
“ Bapak memintamu untuk pulang, dia sekarang tengah sakit.”
“ Pulanglah, katakan padanya bahwa aku tidak mengenalnya lagi”
“ Tapi dia ayah mu, dia sangat membutuhkanmu” ujar pemuda itu
“ Pulanglah, ini peringatanku yang terakhir, aku tak ingin ada pertumpahan darah di sini”

Sahutku dengan mulai emosi.
Sedan hitam itupun melaju dengan ganasnya, meninggalkan deru yang sangat angkuh tak berperi ditelingaku.
Sudah beberapa hari ini banyak orang asing menyuruhku pulang, tapi tak sedikitpun hati ini bergerak untuk pulang. Luka yang membakar bertahun-tahun sekarang telah berkarat di hati ini, menyebabkan aku memendam dendam. Kepada seseorang yang seharusnya aku kagumi. Ayahku sendiri.

Tiupan angin dingin merasuk kedalam tulangku, menggetarkan kalbu yang sedang berkecamuk dengan imajinasinya. Akupun sontak berdiri tegak akan dinginnya, kutatap langit mulai menggelap, bintang kecil sudah bertaburan. Dan kulangkahkan kaki menyusururi jalanan bersama dendam yang aku kandung.
“Awasssssss !!!” pekik seseorang dari belakangku, kurasakan tanganku tertarik kesamping, dan sebuah mobil melaju dengan kencangnya di sampingku.
“Dasar bodoh, kalau mau bunuh diri jangan disini” seorang gadis memarahiku, dan kulihat jemarinya masih tercengkram erat di tanganku.
“Maaf, tadi lagi ngelamun, jadi tidak sadar kalau sudah ditengah jalan” jawabku dengan jantung berdetak cepat.
“Melamun kok ditengah jalan”
“Perasaan aku pernah melihatmu, tapi dimana ya?”
“Aku gadis yang pernah kau selamatkan di rel kereta api dulu, sekarang aku tidak memiliki hutang budi lagi padamu” jawabnya sambil berjalan meninggalkanku.
“Siapa namamu?” teriakku kepadanya. Dia berhenti sebentar, dan dengan perlahan membalikkan kepalanya ke arahku.
“Kinara” ujarnya singkat, dan kembali berjalan menjauh, dan hilang.
***

Siang menerik membakar pusaran kepala. Sedetik, lalu hujan. Garis-garis turun menancapi tanah, memukul lantak butir benih. Aku bersimpuh di depan jaring-jaring yang kusut, berharap bisa mengurainya menjadi lurus.
Kinara, gadis itu kembali membuatku melamun, bahkan mendatangi mimpiku setiap malam tanpa ku undang. Garis-garis hujan mulai meneduh, mungkin dia kasihan kepada tanah yang selalu ditancapinya.

Kulihat ada seorang gadis mondar-mandir ditepi jalan, sepertinya dia sedang mencari sesuatu
“ Lagi cari ini ya?” teriakku sambil berdiri dan mengeluarkan sebuah kalung. Dia berhenti dan mendatangiku
“Kapan kau curi dari ku?”
“Siapa yang nyuri, aku menemukannya kemarin”
“Terima kasih” ujarnya sambil mengambil kalung itu dariku
“Sebegitu pentingkah benda itu untukmu?”
“Sepenting roh dalam jasadmu”
“Tapi aku tak menginginkan rohku bersatu dalam jasad ini”
“Karena kamu tidak memahami arti hidup yang sebenarnya”
“Bukankah itu kamu? Apakah hidup yang sebenarnya mengakhiri hidup direl kereta api?”
“Jangan ungkit itu lagi, itu masa laluku”
“Maaf, siapa yang memberikannya padamu?” kembali aku bertanya, dia diam sejenak, sambil menatap jauh kedalam mataku, seakan menaruh rasa curiga.
“Ayah dan Ibuku, tapi mereka sekarang telah tiada, mereka semua meninggal ketika kecelakaan 2 tahun yang lalu termasuk saudaraku. Aku sangat merindukan mereka” ujarnya pilu.

Aku tertegun mendengarnya, Sontak akupun teringat dengan ayah.
“Maaf, aku telah mengungkit kesedihanmu”
“Tidak apa, terkadang kita berkeluh kesah ketika mendung datang, Tuhan mengirimkan badai, petir, dan hujan lebat. Tapi pernahkah kita sadar bahwa Tuhan telah menyimpan sebuah keindahan jika kita kuat menghadapi semua itu? Tuhan mengirimkan pelangi jika kita berhasil”
“Memang benar” sahutku sambil menunduk, tapi kapan Tuhan mengirimkan pelangi untuk ku? bisikku dalam hati.
“Oh iya, siapa namamu?”
“Ikfar” ujarku sambil menyodorkan tangan
“Nama yang bagus, rumahmu dimana?” jawabnya sambil menjabat tanganku.

Pertanyaannya sontak membuatku lenyap dalam kecamuk hati. Rumah? Dimana rumahku? Kenapa kau tanyakan itu Kinara? Kau membuatku gila.
“Aku tinggal di Mushola, menjadi seorang Gharim”
“Rumah yang indah dan mulia, bagaimana dengan keluargamu?” pertanyaannya kembali membuatku pusing dan muak.
“Haruskah kuceritakan padamu?”
“Wajib, karena aku telah menceritakan keluargaku padamu”
“Aku lari dari rumah, karena mereka tidak menginginkanku lagi”
“Tapi aku sering melihatmu disuruh oleh seseorang untuk pulang”
“Dia menyuruhku pulang karena sudah tidak memiliki siapa-siapa lagi”
“Maafkan aku, tapi kuharap kamu segera pulang dan menemuinya, mungkin dia telah berubah”
“Aku tidak bisa” jawabku

Kemudian kami sama-sama hening beberapa saat.
“Aku pamit dulu, senang berkenalan denganmu, jika ada waktu luang mainlah kerumahku, tidak jauh dari sini” Ucapnya sambil berdiri
“Dimana?” Tanyaku
“Panti Asuhan Al-Azhar” jawabnya, kemudian dia berjalan dengan sedikit bergegas meninggalkanku. Anak yang kuat, tidak seperti aku, ujarku dalam hati.
***

Terus berjalan dan berlari. Mengoleksi segala yang ditemui. Menggurat ketenangan, menggores sejarah, berteriak pada penjuru angkasa. Aku punya impian!
Siang kembali membahana, ku langkahkan kaki menghilangkan penat, setelah membersihkan Mushola sejak dari pagi. Kakiku terus menjelajahi jalan berdebu, menyusuri setiap jejak kehidupan. Ingin rasanya kuhapus setiap jejakku dimuka bumi, agar tak ada yang mengenaliku, dan mengikutiku. Ku hirup udara berdebu, seolah-olah indah dalam paru-paru.

Langkahku kemudian terhenti di depan sebuah bangunan, ku eja setiap hurufnya menjadi sebua kata, dan kugabungkan kata itu menjadi sebuah kalimat “Panti Asuhan AL-Azhar”.
“Hai” Seru seseorang sambil melambaikan tangannya dari dalam ke arahku. Akupun berjalan mendekatinya
“Silahkan duduk!” kata Kinara padaku.
“Terima kasih” ujarku, sambil memandang setiap inci ruangan.
“Bagaimana menurutmu?”
“Sangat menentramkan hati”
“Disinilah aku menemukan arti sebuah kehidupan 2 tahun lalu”

Aku hanya bisa termenung mendengar tuturannya, kulihat beberapa anak kecil sedang bermain dengan penuh canda tawa dan kegembiraan. Inikah yang kucari? Sebuah kedamaian dan ketentraman?
“Apakah kamu sudah menemui ayahmu” Tanya Kinara, yang membuyarkanku dari lamunan.
“Belum” ujarku singkat
“Mau sampai kapan kamu terus begini?”
“Entahlah, mungkin sampai dendam yang aku kandung ini gugur”
“Bukankah dendam itu dilarang agama? Apalagi dengan seorang ayah sendiri”
“Benar, tapi aku tidak bisa”

Kembali suasana menjadi hening, kami kembali sibuk dengan lamunan masing-masing.
“Aku pamit dulu” ujarku sambil berdiri
“Terima kasih sudah mau datang kesini” jawabnya
Kemudian aku berjalan menyusuri jalan menuju Mushola.
***

Jeritan jangkrik menemani malamku, kembali aku teringat dengan gadis itu, Kinara. Begitu kuatnya dia hingga bisa bertahan dengan keadaannya. Sedangkan aku? Seseorang yang hanya lebih mementingkan dendam. Betapa bodohnya aku Tuhan, terhadap ayahku sendiri aku masih menaruh dendam.
Aku rasa aku harus bangkit, karena Tuhan telah mengirimkan Pelangi terindah untukku yang Dia selipkan dalam hati seorang Kinara.
Kinara, andai kau tahu apa yang kurasakan, betapa takjubnya telinga ini mendengar setiap tutur katamu, betapa indahnya mata ini memandang matamu, merasuk kedalam jiwa, mengakar bak benalu didalam hati, menghisap puing-puing kesedihan, kemudian kau suntikkan sebuah insulin cinta kedalamnya. Sungguh, inikah rasanya cinta?
Apakah kau juga merasakan apa yang ku rasa Kinara? Ku harap jawabnya iya, karena katamu kamu sering memperhatikan seseorang menyuruhku pulang, berarti kamu memperhatikanku dari jauh Kinara. Berarti kamu juga mencintaiku Kinara, tunggu aku Kinara, aku akan menjemputmu, aku akan membawamu ke kursi pelaminan. Aku cinta kamu, Kinara.
Dinginnya malam tak mempan menembus tulangku, seakan ada sebuah perisai yang menghalangnya, memang ironis jika seseorang jatuh cinta.
“Aku akan melamarmu Kinara, setelah ku temui ayah besok pagi” Kemudian kutarik selimutku sampai kepala, ku pejamkan mataku dan berharap bertemu Kinara dalam mimpi.
***

Bersimpuh adalah sajadah. Dan sajadah tidaklah panjang, tidak berkelok-kelok, meski kebesaran-Mu ada di dalamnya seperti ketika bersimpuh.
Kemudian kuambil sebuah kotak yang mulai kusam, kubuka perlahan, sebuah cincin pemberian ibu masih mengkilap di dalamnya. Ku tutup dan ku simpan ke dalam saku celana kananku.
Sedan hitam berdecit didepan mushola, ku langkahkan kaki keluar dan masuk kedalam mobil itu. Keputusanku untuk menemui ayah sudah bulat, aku tak ingin ada lagi dendam antara aku dan dia.
Sedan hitam ini terus membawaku menuju sebuah jalan menuju jalan, menyusuri gang demi gang, dan tepat berhenti disebuah rumah mewah yang tak asing lagi bagiku, yaitu rumah dimana aku menyimpan sebuah kenangan hitam dan gelap di dalamnya, rumahku sendiri.
Jantungku terus berdetak dengan cepat, pemuda itu membukakan pintu untukku, aku masuk kedalam rumah, kulihat setiap sudut rumah, masih ada foto kami sekeluarga terpampang di dindingnya. Tidak ada yang berubah sedikitpun sejak aku pergi dari sini.
Suara decitan pintu terbuka yang ada ketika kubuka kamar ayah. Kulihat dia terbaring lemah dengan beberapa selang infuse dan kabel-kabel ditubuhnya. Mata kami saling bertemu, dia hanya diam, akupun diam.
Rasa dendamku kembali memuncak, setan dan iblis tak henti-hentinya menghasutku, hanya kalimat astaghfirullah yang dapat kulantunkan dalam hati untuk menenangkan dendam ini.
Kemudian ayah masih tetap menatapku kosong “Siapa kamu?” tanyanya lembut

Begitu cepatkah dia melupakanku? Tentang anaknya sendiripun dia lupa. Setan dan iblis terus menghasutku dengan panas.
“Aku anak yang dulu pergi dari sini”
Ayah tetap diam melihatku
“Kau telah membesarkanku dengan caci maki”
Ayah tetap diam, namun matanya mulai sayu
“Kau telah membuang abangku”
Ayah menjadi gelisah. Badannya seakan ingin berontak.
“Kau telah memukul adik dan ibuku”

Ayahpun mulai tenang kembali, namun air matanya mulai mengalir dengan perlahan demi perlahan. Sedangkan jantungku mulai berdetak cepat, panas ditubuh mulai menguap memberontak.
“Kau telah membunuh adik dan ibuku di depan mataku” suaraku mulai sayu, dan air mataku mulai mengucur.
Kulihat ayah mengusap matanya dengan perlahan, kemudian semua menjadi hening, kami tak saling tatap lagi. Hanya suara cicak yang memecah keheningan. Kemudian kuambil sebuah kertas dan spidol dari dalam tas, dan ku tulis dengan perlahan dan sambil menahan air mata terus menetes. Kuangkat kertas yang bertuliskan “Ayah, aku memaafkanmu” tepat di depan dadaku.
Ayahpun tak mampu lagi menahan air matanya, dia biarkan air matanya terus mengalir dengan sendirinya. Dan hilanglah semua dendam yang aku kandung dalam hatiku.
Kemudian ku bersimpuh didepan ayah, kulihat dia hanya tersenyum, badannya mulai tanpa gerakan. Ku panggil-panggil namanya, namun tak sedikitpun dia sahuti panggilanku. Lalu kuletakkan tanganku tepat di denyut nadinya. Innalillahi wa innalillahi rojiun.
***

Kotak-kotak waktu harus dilalui. Bingkai dan bangkai peristiwa menanti. Terisi kapan, dimana, bagaimana, sementara, detak jarum jam berlomba dengan nadi
Angin sore makin kencang bertiup dan cuaca agak dingin. Sudah sebulan ayah meninggal, dan sekarang hanya aku sendiri yang mengurusi setiap asetnya. Ingin rasanya hati ini membantah, entah kepada siapa? dan selalu jiwa ini bertanya dimanakah abangku sekarang? Karena hanya tinggal dialah keluargaku saat ini.
Aku teringat dengan janjiku untuk melamar Kinara. Kebetulan nanti malam ada acara syukuran di Panti Asuhan Al-Azhar. Mungkin itulah waktu yang tepat untuk menjalankan niat suciku padanya.

Akupun bergegas pergi menuju Panti Asuhan Al-Azhar, kulihat telah ramai orang yang berdatangan. Acara yang diselingi tauziah oleh salah seorang ustad akhirnya selesai juga. Kulihat Kinara sedang berdiri dengan beberapa orang disampingnya. Kemudian kulangkahkan kaki dengan mengucapkan basmallah menuju kearahnya
“Ikfar? Aku kira kamu tidak akan datang” seru Kinara dan sambil tersenyum
“Kenapa tidak? Oh iya ada yang ingin aku sampaikan kepadamu” jantungku mulai berdetak cepat, kemudian ku selipkan jari-jemariku kedalam celana untuk mengambil kotak yang berisi cincin pemberian ibu dulu. Kemudian ku genggam kotak itu dibelakang badanku
“Ada hal apa Ikfar?” Tanyanya dengan menatap mataku
“Hmmmm” lidahku menjadi kelu, tak bisa aku percaya, aku menjadi bisu untuk mengatakannya.
“Kok diam? Oh iya, kenalkan ini calon suamiku”
“Calon suami?” Seketika aku mendengarkan sebuah ledakan hebat dari jantungku, kenapa begini ya Tuhan? Kenapa kau ciptakan aku hidup bukan untuk bersamanya? Hatiku menangis hebat. Kemudian kembali kuletakkan kotak berisi cincin itu kedalam saku celanaku lagi.
“Iya, dia baru saja melamarku Ikfar” jawabnya dengan tersenyum.
Kuperhatikan senyum Kinara itu, tak sadarkah dia bahwa senyumnya telah merusak hatiku? Mengobrak-abrik jiwaku? Menyayat relung hatiku?

Lalu kulihat orang yang disebutnya sebagai calon suaminya. Dia menjulurkan tangannya padaku.
“Randai” sapanya
“Ikfar” jawabku dengan suara parau
Kemudian kami berjabat tangan, darahku berhenti mengalir, keringat dingin mengucur lagi dengan derasnya. Kurasakan ada bekas goresan luka di telapak tangannya. Sama seperti bekas luka di telapak tanganku. Sehingga bekas luka itu menyatu menjadi sebuah tanda X.
Aku kembali hanyut dalam cerita lama, kembali teringat olehku ketika ayah marah besar kepadaku dan abangku ketika kami tak sengaja memecahkan kaca cermin. Kemudian ayah dengan kejamnya menggoreskan serpihan kaca itu ditelapak tangan kanan kami masing-masing. Aku menjerit kuat menahan perihnya, sedangkan abang kulihat hanya tertunduk diam.

Sebuah pelukan erat membuyarkan lamunanku
“Ternyata kamu adikku yang selama ini aku cari” kembali Randai mengencangkan pelukannya kepadaku.
“Aku merindukanmu abang” air mataku mengalir dan jatuh dibajunya Randai, sedangkan Kinara menatap kami dengan beribu tanda tanya.

Baca Juga Cerpen Cinta

Cerpen Romantis - Benang Kusut di Atas Sajadah Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Unknown

0 komentar:

Posting Komentar